PENANGANAN LIMBAH PADAT
Menurut
WHO, sampah adalah sesuatu yang tidak digunakan, tidak dipakai, tidak disenangi
atau sesuatu yang dibuang berasal dari kegiatan manusia dan tidak terjadi
dengan sendirinya (Chandra, 2007). Banyak sampah organik masih mungkin
digunakan kembali/ pendaurulangan (re-using), walaupun akhirnya akan tetap
merupakan bahan/ material yang tidak dapat digunakan kembali (Dainur, 1995).
Definisi
sampah menurut Undang-undang Nomor 18 Tahun 2008 pasal 1 ayat (1) adalah: “Sampah
adalah sisa-sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/atau proses alam yang
berbentuk padat”.
Pengolahan
limbah padat dilakukan untuk mengurangi terjadinya polusi baik tanah, air
maupun udara. Limbah padat dapat diolah dengan berbagai cara diantaranya dengan
pengomposan dan sanitary landfill.
A.
PENGOMPOSAN
Kompos adalah
hasil penguraian bahan organik melalui proses biologis dengan bantuan organisme
pengurai. Proses penguraian dapat berlangsung secara aerob (dengan udara)
maupun anaerob (tanpa bantuan udara) (Epstein, 1997).
Kompos berfungsi untuk memperbaiki sifat
fisik, kimia dan biologis tanah. Menurut Stoffella dan Khan (2001) kompos
memiliki keunggulan dalam hal kandungan unsur hara makro maupun mikronya yang
lengkap. Unsur hara makro yang terkandung dalam kompos antara lain N, P, K, Ca,
Mg, dan S, sedangkan kandungan unsur mikronya antara lain Fe, Mn, Zn, Cl, Cu,
Mo, Na dan B.
Pada dasarnya semua bahan organik dapat
dikomposkan, seperti: sampah organik pasar, limbah organik rumah tangga,
kotoran/limbah peternakan, limbah pertanian, limbah agroindustri, limbah pabrik
gula, dll yang bersifat fibrous (berserat). Sedangkan bahan organik yang perlu
dihindari sebagai bahan baku kompos ialah bahan organik yang memiliki kadar air
tinggi (seperti : semangka, melon, mentimun, tomat, dll) karena akan
mempertinggi kadar air pada kompos.
Pengomposan dapat dilakukan dengan
beberapa metode. Metode-metode pengomposan tersebut antara lain:
1.
Metode Indore
Menurut
Haug (1980) dan Gaur (1982), pengomposan metode ini dikembangkan oleh Howard
yang bekerja sama dengan Jackson dan Ward pada tahun 1924-1926. Mereka
menggunakan bahan dari capuran residu tanaman, kotoran ternak, kencing ternak,
abu bakaran kayu, dan air. Lokasi pengomposan dipilih tempat yang agak tinggi
sehingga terbebas kemungkinan tergenang selama proses pengomposan. Metode ini
cocok untuk daerah dengan curah hujan tinggi. Ada dua macam metode indore yang
sering dipakai, yaitu dengan cara menumpuk bahan yang dikomposkan di atas tanah
( indore heap method) dan dimasukkan dalam lubang galian (indore pit method). Langkah
pembuatan kompos ini adalah sebagai berikut:
a.
Buat lubang
dengan kedalaman minimal 1 meter (tergantung ketersediaan bahan) dan lebar
antara 1,5-2 meter. Pembuatan lubang sebaiknya dekat kandang ternak dan sumber
air. Buat tanggul kecil di sekeliling lubang untuk melindungi lubang.(untuk
indore pit method).
b.
Bahan-bahan dari
residu tanaman (batang, daun, sisa pakan ternak, pupuk hijau) dikumpulkan dan
ditimbun..
c.
Bahan-bahan yang
tersedia kemudian disusun menurut lapisan-lapisan dengan ketebalan 15 cm, total
ketebalan dapat dibuat 1,2-1,5 meter.
d.
Kotoran ternak
disebar secara merata setebal 10-15 cm. Untuk setiap lapisan bahan yang
dikomposkan ditaburi dengan kotoran dan tanah yang terkena kencing atau dibuat
dari campuran 4,5 kg kotoran ternak, 3,5 kg tanah yang terkena kencing dan 4,5
kg inokulan fungi yang diambil dari bahan kompos yang sedang aktif.
e.
Lapisan kompos
disiram secara berkala
f.
Pembuatan
lapisan-lapisan bahan yang dikomposkan tidak boleh lebih dari seminggu.
g.
Lakukan proses
pembalikkan3 kali yaitu hari ke-15, hari ke-30 dan hari ke-60. Pastikan kompos
diaduk dengan baik dan dalam keadaan lembab.
h.
Kompos sudah bisa
digunakan
2.
Metode Heap
Metode
ini memiliki beberapa acuan untuk mempercepat proses pengomposan dengan hasil
yang baik seperti timbunan bahan kompos harus cukup mengandung nitrogen atau
protein; dua atau lebih bahan dasar kompos dicampur merata untuk mendorong
proses dekomposisi berjalan dengan baik; bahan dasar kompos diperhalus dengan
cara dicacah; jaga kelembapan kompos selama proses pengomposam berlangsung,
tetapi tidak terlalu basah; apabila tanah dalam keadaan asam, maka diberi
kapur. Untuk memperkaya kandungan hara kompos dapat ditambahkan bantuan fosfat.
Metode Heap memiliki beberapa kendala,
yaitu: banyak memerlukan tenaga kerja; tidak terlindung dari terpaan hujan dan
angin; memerlukan lebih banyak air sehingga tidak sesuai untuk daerah yang
curah hujannya rendah; proses fermentasi berjalan secara aerob, sehingga proses
pengomposan berjalan lebih cepat, tetapi mendiriing kehilangan bahan organik
dan nitrogen lebih besar.
Langkah-langkah pembuatan kompos dengan
Metode Heap:
a.
Dibuat lubang
dengan lebar 2 meter, tinggi 1,5 meter, dan panjang 2 meter atau lebih. Bagian
tepi atas agak dipadatkan sehingga lebih sempit kurang lebih 0,5 meter. Untuk
melindungi timbunan kompos dari tiupan angin maka di sekitar timbunan diberi
peneduh atau pelindung.
b.
Timbunan bahan
kompos dimulai dari lapisan bahan yang kaya karbon setebal 15 cm, termasuk:
daun, jerami, serbuk gergaji, serpihan kayu, potongan batang jagung.
c.
Lapisan
berikutnya adalah bahan kaya nitrogen setebal 10-15 cm, termasuk rumput segar,
gulma atau residu tanaman pekarangan, sampah, kotoran ternak segar dan kering,
sari limbah kering.
d.
Lapisan diulang
sampai mencapai ketinggian 1,5 meter.
e.
Pastikan selama
pengomposan selalu dalam keadaan lembab dan tidak terlalu basah. Untuk
mempertahankan panas yang timbul selama proses pengomposan maka bahan kompos
ditutup dengan tanah atau lumpur.
f.
Proses pembalikan
dilakukan setelah 6 minggu dan 12 minggu.
3.
Metode Bangalore
Metode
ini mempunyai banyak kelemahan. Selama proses pengomposan berlangsung, maka
bahan yang dikomposkan harus selalu berada dalam lubang atau bak pengomposan.
Selama proses pengomposan tidak dilakukan
penyiraman atau pembalikan. Karena timbunan kompos ditutup dengan tanah atau
lumpur, maka penyiraman harus cukup banyak sampai proses selesai. Setelah 8 —
10 hari proses berjalan secara aerob, selanjutnya proses berjalan secara semi
aerob. Proses ini berjalan secara lambat dan sedikit demi sedikit sehingga
diperlukan waktu 6 — 8 bulan, sampai kompos siap dipakai. Proses ini tidak
terjadi kehilangan karbon maupun nitrogen, sehingga kualitas kompos sangat
tergantung pada bahan dasar yang digunakan. Metode pengomposan ini dikembangkan
di Bangalore ( India) oleh Acharya (1939).
Bahan yang dikomposkan
terdiri atas campuran tinja dan sampah kota. Metode ini sangat sesuai untuk
wilayah yang curah hujannya rendah. Diperlukan waktu antara 6-8 bulan untuk
memperoleh kompos yang siap pakai.
Kelebihan dari metode
ini hasil yang diperoleh lebih banyak daripada proses pengomposan aerob dan
kehilanga nitrogen relatif sedikit dan tidak banyak memerlukan tenaga.
Kelemahan metode ini waktu yang diperlukan lebih panjang dan kemungkinan yang
merupakan masalah adalah bau yang busuk dan lalat yang cukup banyak.
4.
Metode Berkeley
Bahan
yang dikomposkan merupakan campuran bahan organik kaya selulosa (2 bagian) dan
bahan organik kaya nitrogen (1 bagian). Bahan ditimbun secara berlapis-lapis
dengan ukuran 2,4 x 2,2 x 1,5 m. Setelah dicapai suhu termofilik kurang lebih
selama 2-3 hari, pada hari keempat timbunan bahan kompos dibalik. Pembalikan
dilakukan lagi pada hari ke-7 dan ke-10. Keunggulan: proses pengomposannya
terjadi dengan cepat dan dalam waktu yang relatif singkat telah siap
dimanfaatkan.
5.
Metode
Vermikompos
Merupakan metode pengomposan yang memanfaatkan
aktivitas cacing tanah karena cacing tanah mempunyai peranan penting dalam
mempertahankan produktivitas tanah. Cacing tanah hanya membutuhkan 5% — 10%
makanan untuk tumbuh dan mempertahankan kegiatan fisik, dan sisanya dibuang
dalam bentuk ekskresi. Bahan sekresi mengandung senyawa organik dengan ukuran
partikel reknit’ seragam, kaya unsur hara makro dan mikro yang segera tersedia
untuk tanaman, vitamin, ensim dan mikroorganisme. Vermikompos adalah pupuk
organik yang mengandung sekresi cacing, humus, cacing hidup dan organisme
lainnya. Populasi cacing akan meningkat secara dramatis apabila biomassa kaya
nutrisi, misalkan limbah organik. Limbah organik lembap sebanyak 1 ton akan
menghasilkan sebanyak 300 kg vermikompos. Tahap pengomposan model ini ialah:
pengadaan cacing tanah, perbanyakan cacing tanah, dan proses pengomposan.
Pengomposan menggunakan teknik kultur cacing tanah
dapat dilaksanakan dengan kapasitas besar 100-200 ton limbah organik/hari.
Karena kegiatan cacing tanah dengan cepat menurunkan volume biomassa dalam
beberapa hari, maka tidak perlu dilakukan pembalikan bahan dan hampir tidak
menimbulkan bau busuk: kultur vermikompos bersifat efekti f, sederhana dan
merupakan proses pengomposan limbah organik yamg hemat energi.
Vermikompos dapat dibuat dalam skala
kecil (sederhana) maupun skala besar (industri). Pada pembuatan skala kecil
digunakan kotak dari papan kayu atau kotak plastik yang sudah tidak terpakai.
Stirofoam atau logam tidak dianjurkan untuk membuat kotak vermikompos karena
mengeluarkan racun ke dalam lingkungan hidup cacing, sedangkan logam menyerap
panas, mudah berkarat dan mengeluarkan logam berat ke dalam vermikompos.
Terdapat tiga cara pembuatan yaitu: (1) kotak tidak bersekat dimana cacing dan
bahan organik ditempatkan di atas alas pada bagian dasar. Tipe ini sering
digunakan namun mempunyai kesulitan saat memanen kompos karena cacing dan
material kompos menyatu; (2) kotak bersekat vertikal berupa nampan-nampan yang
disusun secara vertikal berisi bahan organik. Diharapkan,sebagian cacing akan
bermigrasi ke lapisan nampan diatasnya. Apabila cacing yang bermigrasi sudah
cukup, kompos di bawah bisa dipanen; dan (3) kotak bersekat horizontal dimana
nampan diletakkan berdampingan untuk memberi kesempatan cacing tanah bermigrasi
mencari sumber makanan pada kotak disampingnya. Ketika migrasi cacing ke kotak
sebelahnya telah dianggap cukup, kompos yang sudah matang beserta cacing yang masih tertinggal bisa dipanen.
Pembuatan vermikompos berskala besar
menggunakan tempat terbuka, terdiri atas hamparan bahan organik lalu cacing
melakukan pengomposan dengan memakan bahan organik tersebut. Cacing pada
umumnya tetap tinggal dan tidak meloloskan diri dari hamparan karena
melimpahnya bahan makanan. Permukaan hamparan bahan organic sering diperkeras
dengan beton untuk mencegah predators memakan populasi cacing tanah.
6.
Metode Jepang
Metode
ini menggunakan bak penampung yang terbuat dari anyaman kawat atau bambu, ban
mobil bekas yang disusun bertingkat, atau bahan lain yang tersedia di tempat
sebagai pengganti lubang seperti pada metode pembuatan kompos yang lain. Bagian
dinding bak dirancang untuk memudahkan aerasi dan bagian dasar bak ditutup
rapat untuk menghindari pelindian unsur hara ke tanah yang ada di bawahnya.
Bahan organik yang bisa dibuat kompos
dengan metode Jepang, yaitu kotoran ternak, rumput daun segar kering, limbah tanaman
dan gulma, limbah agroindustri, bahan mineral, sampah kota dan rumah tanga
serta limbah padat dan cair yang berasal dari instalasi penyehatan.
Kelebihan pengomposan dengan metode
Jepang adalah pengadukan bahan mudah karena bak penampungnya ada di atas tanah
dan kemungkiann kehilangan nitrogen dalam bentuk nitrat akibat pelindian kecil.
7.
Metode Takakura
Metode
ini digunakan untuk limbah padat organik skala kecil seperti sampah rumah
tangga. Pengolahannnya tidak memerlukan biaya besar dan mudah didapat di
lingkungan sekitar. Selain itu, mudah
dipindah-pindah terutama yang lahannya sempit. Langkah pembuatannya adalah
sebagai berikut:
a.
Persiapan media
pengomposan:
1)
Siapkan keranjang
plastik Untuk membuat kompos ukuran panjang 45 cm, lebar 33 cm dan tinggi 43
cm, kardus bekas untuk melapisi sisi-sisi dalam keranjang, siapkan sekam padi
dalam wadah plastik, tebal sekam 10-15 cm dari dasar keranjang, dan masukkan
bantalan sekam kemudian kompos jadi (kompos siap pakai) ke dalam keranjang
Takakura setebal 15-20 cm dari bantalan sekam. Selanjutnya, komposter Takakura
siap dipakai. lalu ambil mikroorganisme cair, tuangkan ke dalam sprayer
2)
Semprotkan
mikroorganisme cair dengan menggunakan sprayer secara merata dengan sesekali
mengaduk sekam dengan tangan
3)
Gunting jaring
untuk membuat dua kantong sesuai ukuran alas dan bagian atas keranjang dengan
cara menjahit bagian tepi jaring
4)
Setelah jaring
berbentuk kantong, isi masing-masing kantong jaring dengan sekam secukupnya
lalu jahit hingga menyerupai bantal
5)
Ambil kardus dan
potong dengan menggunakan gunting sesuai ukuran sekeliling keranjang lalu
tempelkam potongan kardus tadi di sekeliling bagian dalam keranjang
6)
Setelah bagian
dalam keranjang terlapisi kardus, letakkan bantal sekam pada alas keranjang
7)
Semprot
Microorganisme cair pada permukaan luar dalam kardus dan bantal sekam dengan
menggunakan sprayer hingga basah merata (EM4/ Efektive Mikroorganisme)
8)
Siapkan bak lalu
isi dengan kompos dan pupuk ampas tebu lalu aduk hingga merata.
9)
Masukkan campuran
kompos dan pupuk ampas tebu ke dalam keranjang yang sudah terlapisi kardus
10)
Sisa-sisa makanan
dan sayuran dipotong kecil-kecil semakin kecil materi semakin cepat
penguraiannya. Gali starter kompos di dalam keranjang tersebut dengan cetok.
Luasan dan kedalaman galian sesuaikan dengan banyaknya sampah yang hendak
dimasukkan.
11)
Masukkan sampah
organik segar yang sebelumnya telah dicacah terlebih dahulu, pada lubang yang
digali. Kemudian diaduk dan dicampur dengan kompos yang sudah jadi, tusuk-tusuk
sampah tersebut dengan cetok. hingga sampah berada di tengah-tengah campuran
pupuk kompos dan pupuk ampas tebu; usahakan semua sampah tertibun media
12)
Timbun sampah
tadi dengan kompos di tepian lubang. Tutup kompos tersebut dengan bantalan
sekam yang sudah disemprot dengan
Mikroorganisme cair. Tutup permukaan keranjang dengan kain. Masukkan termometer
sebagai alat pengukur suhu pada saat proses pengomposan
13)
Tutup bagian
mulut keranjang dengan menggunakan kain stocking agar serangga kecil tidak
masuk. Tutuplah keranjang dengan rapat.
b.
Cara Pemanenan
Bila
Kompos di dalam keranjang takakura telah penuh, ambil 1/3 nya dimatangkan
selama seminggu di tempat yang tidak terkena sinar matahari secara langsung.
Sisanya yang 2/3 bisa kita gunakan kembali sebagai starter untuk pengolahan
berikutnya. Sebaiknya sampah organik segar diisi setiap hari, usahakan sampah
ditekan dengan cetok sampai sampah timbunan baru tidak terlihat.
8.
Pengomposan
dengan teknologi rendah
Teknik
pengomposan yang termasuk kelompok ini adalah Windrow Composting. Kompos ditumpuk dalam barisan tupukan yang
disusun sejajar. Tumpukan secara berkala dibolak-balik untuk meningkatkan
aerasi, menurunkan suhu apabila suhu terlalu tinggi, dan menurunkan kelembaban
kompos. Teknik ini sesuai untuk pengomposan skala yang besar. Lama pengomposan
berkisar antara 3 hingga 6 bulan, yang tergantung pada karakteristik bahan yang
dikomposkan.
9.
Pengomposan
dengan teknologi sedang
Pengomposan
dengan teknologi sedang meliputi:
a.
Aerated static pile
Gundukan
kompos diaerasi statis, tumpukan/gundukan kompos (seperti windrow system) diberi aerasi dengan menggunakan blower mekanik. Tumpukan kompos ditutup
dengan terpal plastik. Teknik ini dapat mempersingkat waktu pengomposan hingga
3 – 5 minggu.
b.
Aerated compost bins
Bak/kotak
kompos dengan aerasi, pengomposan dilakukan di dalam bak-bak yang di bawahnya
diberi aerasi. Aerasi juga dilakakukan dengan menggunakan blower/pompa udara. Seringkali ditambahkan pula cacing
(vermikompos). Lama pengomposan kurang lebih 2 – 3 minggu dan kompos akan
matang dalam waktu 2 bulan.
10.
Pengomposan
dengan teknologi tinggi
Pengomposan
dengan menggunakan peralatan yang dibuat khusus untuk mempercepat proses
pengomposan. Terdapat panel-panel untuk mengatur kondisi pengomposan dan lebih
banyak dilakukan secara mekanis. Contoh-contoh pengomposan dengan teknologi
tinggi antara lain:
a.
Rotary drum composter: Pengomposan dilakukan di dalam drum berputar yang
dirancang khusus untuk proses pengomposan. Bahan-bahan mentah dihaluskan dan
dicampur pada saat dimasukkan ke dalam drum. Drum akan berputar untuk mengaduk
dan memberi aearasi pada kompos.
b.
Box/tunnel composting system: Pengomposan dilakukan dalam kotak-kotak/bak skala
besar. Bahan-bahan mentah akan dihaluskan dan dicampur secara mekanik.
Tahap-tahap pengomposan berjalan di dalam beberapa bak/kotak sebelum akhirnya
menjadi produk kompos yang telah matang. Sebagian dikontrol dengan menggunakan
komputer. Bak pengomposan dibagi menjadi dua zona, zona pertama untuk bahan
yang masih mentah dan selanjutnya diaduk secara mekanik dan diberi aerasi.
Kompos akan masuk ke bak zona ke dua dan proses pematangan kompos dilanjutkan.
c.
Mechanical compost bins: pengomposan dengan drum untuk limbah skala kecil
seperti limbah rumah tangga.
B.
SANITARY LANDFILL
Sanitary landfill
merupakan metode pengurugan sampah ke dalam tanah dengan menyebarkan limbah
padat secara berlapis-lapis pada lahan kemudian dipadatkan dengan alat berat
dan pada akhir operasi urugan limbah padat ditutup dengan tanah. Metode ini
dikenal sejak awal tahun 1900-an dengan nama sanitary landfill karena aplikasinya memperhatikan aspek sanitasi
lingkungan.
Landfilling penting untuk mengurangi limbah yang tidak dapat
disingkirkan semuanya, sebagai pengolahan lanjutan dari residu pengolahan
limbah, dan mengyingkirkan limbah yang sulit diuraikan secara biologis, sulit
dibakar atau diolah secara kimia.
Pada awalnya cara ini dilakukan pada
tanah yang sudah tidak produktif seperti bekas pertambangan yang kemudian
dikenal dengan metode pit atau canyon atau quarry. Dengan demikian terjadi reklamasi lahan sehingga lahan
tersebut menjadi baik kembali. Namun, karena terbatasnya site yang sesuai maka
dilakukan pengupasan site sampai kedalaman tertentu lalu disebut metode slop. Daerah yang mempunyai struktur
tanah yang datar dengan muka air tanah tinggi sulit untuk mengupas site, maka
dilakukan penimbunan sampah di atas area tersebut (metode area).
Landfill terdiri dari beberapa jenis, antara lain:
1.
Berdasarkan
penanganan sampahnya
a.
Pemotongan
sampah terlebih dahulu
Sampah dipotong
dengan mesin pemotong 50-80 mm agar homogen, lebih padat (0,8-1,0 ton/m3),
dapat ditimbun lebih tebal (>1,5 m). Cara
ini dapat digunakan sebagai pengomposan (aerobik) in-situ dengan ketinggian
sel-sel 50 cm, sehingga memungkinkan proses aerobik yang menghasilkan panas
sehingga dapat menghindari lalat.
Kelebihan dari cara ini binatang
pengerat berkurang karena rongga dalam timbunan berkurang/dihilangkan dan
timbunan lebih padat, degradasi lebih cepat sehingga stabilitas lebih cepat.
Sedangkan kelemahannya butuh alat pemotong sehingga biaya menjadi mahal.
b.
Pemadatan sampah
dengan baling
Cara ini banyak dilakukan di Amerika Serikat. Sampah
dipadatkan dengan mesin pemadat menjadi ukuran tertentu. Kepadatan mencapai 1,0
ton/m3 atau lebih.
Kelebihan dari cara ini transportasi
lebih murah karena sampah lebih padat dan berbentuk praktis, pengurugan di
lapangan lebih mudah, pengatran sel lebih mudah dan sistematis. Sedangkan
kelemahannya butuh investasi dan operasi alat, dihasilkan lindi dari hasil
pemadatan.
c.
Landfill
tradisional
Cara
ini dikenal sebagai santary landfill
di Indonesia. Sampah diletakkan berlapis-lapis (0,5-0,6 m) sampai ketinggian
1,2-1,5 m. Urugan sampah membentuk sel-sel dan membutuhkan ketelitian operasi
alat berat agar teratur. Kepadatan sampah dicapai dengan alat biasa (dozer atau
loader) dan mencapai 0,6-0,8 ton/m3. Cara ini membutuhkan penutupan
harian 10-30 cm, paling tidak dalam 48 jam. Kondisi di lapisan teratas bersifat
aerob sedangkan di bagian bawah anaerob sehingga dihasilkan gas metan.
Bagian-bagian sampah yang besar diletakkan di bwah agar tidak terjadi rongga.
d.
Landfill
dengan kompaksi
Cara
ini banyak digunakan untuk lahan urug yang besar dengan dozer khusus yang bisa
memadatkan sampah pada ketebalan 30-50 cm, dicapai densitas timbunan 0,8-1,0
ton/m3. Proses pengomposan yang terjadi menjadi anaerob.
Kelebihannya, tanah penutup menjadi berkurang, truk mudah berlalu lalang dan
masa layan lebih lama. Selain itu, karena densitasnya yang tinggi membuat tikus
dan serangga sulit bersarang. Namun, kekurangannya biaya operasi menjadi
meningkat.
2.
Berdasarkan
kondisi site
a.
Metode area
Metode
ini cocok digunakan pada site yang relatif datar. Sampah membentuk sel-sel
sampah yang saling dibatasi oleh tanah penutup. Slope terbentuk setelah
pengurugan. Penyebaran dan pemadatan sampah berlawanan dengan kemiringan.
b.
Metode slope/ramp
Langkah
pertama yang dilakukan adalah dengan menggali sebagian tanah, kemudian sampah
diurug dalam tanah. Tanah yang digunakan sebagai penutup diambil dari tanah
galian. Setelah lapisan pertama selesai langkah berikutnya seperti metode area.
c.
Metode parit/trench
Metode
parit diterapkan pada tanah yang datar atau sedikit bergelombang. Caranya, gali
site yang akan digunakan sebagai landfill.
Sampah ditebarkan dalam galian tadi kemudian sampah dipadatkan dan ditutup
harian. Metode digunakan jika air tanah cukup rendah sehingga zone non-aerasi
di bawah landfill cukup tinggi (≥1,5
m). Langkah selanjutnya dilakukan seperti pada metode area.
d.
Metode pit/canyon/quarry
Cara
ini efektif untuk memanfaatkan cekungan tanah yang ada seperti tanah bekas
pertambangan. Pengurugan sampah dimulai dari dasar, lalu penyebaran dan
pemadatannya dilakukan seperti metode area.
3.
Berdasarkan
ketersediaan oksigen dalam timbunan
a.
Landfill
anaerob
Landfill
cara ini banyak diterapkan di Indonesia, yaitu dengan menimbun sampah secara
lapis per lapis tanpa memperhatikan ketersediaan oksigen dalam timbunan. Kondi
anaerob ini menghasilkan gas metan, uap-uap asam-asam organik, dan H2S
yang menyebabkan bau bila tidak ditutup tanah. Selain itu, stabilitas sampah
tidak cepat tercapai dan dihasilkan lindi/leachate
dengan konsentrasi tinggi.
b.
Landfill
semi aerob
Pada
metode ini penggenanan leachate dalam
timbunan dapat dihindari dengan pembuatan drainase leachate dan ventilasi gasbio yang baik. Tanah yang digunakan
sebagai penutup tidak terlalu kedap.
c.
Landill aerob
Landfill
aerob merupakan cara landfill yang
mengupayakan agar timbunan sampah tetap mendapat oksigen sehingga proses
pembusukan lebih cepat seperti pengomposan biasanya. Leachate yang dihasilkan relatif lebih baik dibanding landfill anaerob. Aroma tidak sedap juga
lebih sedikit sehingga tidak dibutuhkan penutup tanah harian. Pencapaian
kondisi aerob dapat dilakukan dengan pendekatan seperti lapisan sampah
dibiarkan beberapa hari berkontak dengan oksigen sebelum diatasnya dilapis
sampah lain. Bila perlu dilakukan pembalikan pada lapisan sampah tersebut namun
dibutuhkan area yang luas. Cara lain adalah memasukkan udara ke dalam timbunan
secara sistematis sehingga proses pembusukan berjalan secara aerob.
4.
Berdasarkan
karakter site
a.
Site landfill kelas 1
Merupakan
site kedap dengan nilai permeabilitas <10-7 cm/detik dan
mengabaikan migrasi leachate. Jenis
limbah yang diurug dengan cara ini adalah limbah industri termasuk limbah B3.
b.
Site landfill kelas 2
Merupakan
site semi kedap dengan nilai permeabiitas antara 10-4 sampai 10-7
cm/detik dengan migrasi leachate yang
lambat. Cara ini untuk limbah sejenis sampah kota.
c.
Site landfill kelas 3
Merupakan
site tidak kedap dengan nilasi permeabilitas >10-4 cm/detik
dimana migrasi leachate terjadi
dengan cepat. Cocok untuk limbah inert dengan mengabaikan pencemaran.
5.
Berdasarkan
jenis limbah yang akan diurug
Beberapa
negara maju membagi landfill menurut
jenis limbahnya, misal landfill
sampah kota/sejenisnya dan landfill
limbah industri (codisposal). Di Jepang, landfill
dibagi menjadi landfill untuk limbah
industri yang stabil (sisa bangunan, plastik, karet, logam, dan keramik), landfill dengan shut-off (dengan mengisolasi kontak air dari luar seperti air hujan
dan air tanah) dan landfill limbah
terdegradasi (oli, kertas,kayu, residu hewan/tanaman).
6.
Berdasarkan
aplikasi tanah penutup dan penanganan leachate
a.
Controlled tipping
Merupakan
pengembangan dari open dumping. Pada
metode ini calon lahan utnuk landfill
dipilih dan disiapkan dengan baik dan aplikasi tanah penutupnya tidak dilakukan
setiap hari.
b.
Sanitary landfill with a bund and daily cover soil
Merupakan
peningkatan dari Controlled tipping. Lahan
penimbunan dibagi menjadi berbagai area yang dibatasi oleh tanggul atau parit.
Penutupan timunan sampah dilakukan setiap hari sehingga mengurangi efek bau,
asap dan lalat.
c.
Sanitary landfill with leachate recirculation
Pada
metode ini permasalahan leachate
diatasi dengan membuat sarana untuk mengalirkan lindi dari dasar landfill ke penampungan. Lindi kemudian
dikembalikan ke timbunan sampah melalui ventilasi biogas tegak atau langsung ke
timbunan sampah.
d.
Sanitary landfill with leachate treatment
Lindi
dikumpulkan melalui sistem pengumpul kemudian diolah secara lengkap seperti limbah
cair. Pengolahan yang diterapkan bisa secara biologi maupun kimia.
DAFTAR PUSTAKA
Andriana, Yusuf. ____. Teknologi
Tepat Guna (TTG) untuk Pengelolaan Sampah. http://yusufandriana.com.
[6 Juni 2014].
Bapelkes. 2012. Pembuatan Kompos
dengan Metode Takakura. http://bapelkescikarang.or.id.pdf [30 Mei 2014].
Chahay, Indra, Surya Dharma.
2010. Hubungan Kebersihan Perorangan Dan Pemakaian Alat Pelindung Diri Dengan
Keluhan Gangguan Kulit Pada Petugas Pengelola Sampah Di Tempat Pembuangan Akhir
(TPA) Namo Bintang Kecamatan Pancur Batu Kabupaten Deli Serdang. http://repository.usu.ac.id
[30 Mei 2014].
Isroi.
2006. Pengomposan Limbah Padat Organik. http://blog.ub.ac.id. [30 Mei 2014].
Yulanto, AB. dkk. 2012.
Pengolahan Sampah Terpadu: Konversi Sampah Pasar Menjadi Kompos Berkualitas
Tinggi. http://api.ning.com. [30 Mei 2014].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar