Selasa, 17 Juni 2014

penanganan limbah padat






PENANGANAN LIMBAH PADAT

Menurut WHO, sampah adalah sesuatu yang tidak digunakan, tidak dipakai, tidak disenangi atau sesuatu yang dibuang berasal dari kegiatan manusia dan tidak terjadi dengan sendirinya (Chandra, 2007). Banyak sampah organik masih mungkin digunakan kembali/ pendaurulangan (re-using), walaupun akhirnya akan tetap merupakan bahan/ material yang tidak dapat digunakan kembali (Dainur, 1995).

Definisi sampah menurut Undang-undang Nomor 18 Tahun 2008 pasal 1 ayat (1) adalah: “Sampah adalah sisa-sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/atau proses alam yang berbentuk padat”.

Pengolahan limbah padat dilakukan untuk mengurangi terjadinya polusi baik tanah, air maupun udara. Limbah padat dapat diolah dengan berbagai cara diantaranya dengan pengomposan dan sanitary landfill.

A.      PENGOMPOSAN
Kompos adalah hasil penguraian bahan organik melalui proses biologis dengan bantuan organisme pengurai. Proses penguraian dapat berlangsung secara aerob (dengan udara) maupun anaerob (tanpa bantuan udara) (Epstein, 1997).
Kompos berfungsi untuk memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologis tanah. Menurut Stoffella dan Khan (2001) kompos memiliki keunggulan dalam hal kandungan unsur hara makro maupun mikronya yang lengkap. Unsur hara makro yang terkandung dalam kompos antara lain N, P, K, Ca, Mg, dan S, sedangkan kandungan unsur mikronya antara lain Fe, Mn, Zn, Cl, Cu, Mo, Na dan B.
Pada dasarnya semua bahan organik dapat dikomposkan, seperti: sampah organik pasar, limbah organik rumah tangga, kotoran/limbah peternakan, limbah pertanian, limbah agroindustri, limbah pabrik gula, dll yang bersifat fibrous (berserat). Sedangkan bahan organik yang perlu dihindari sebagai bahan baku kompos ialah bahan organik yang memiliki kadar air tinggi (seperti : semangka, melon, mentimun, tomat, dll) karena akan mempertinggi kadar air pada kompos.
Pengomposan dapat dilakukan dengan beberapa metode. Metode-metode pengomposan tersebut antara lain:
1.         Metode Indore
Menurut Haug (1980) dan Gaur (1982), pengomposan metode ini dikembangkan oleh Howard yang bekerja sama dengan Jackson dan Ward pada tahun 1924-1926. Mereka menggunakan bahan dari capuran residu tanaman, kotoran ternak, kencing ternak, abu bakaran kayu, dan air. Lokasi pengomposan dipilih tempat yang agak tinggi sehingga terbebas kemungkinan tergenang selama proses pengomposan. Metode ini cocok untuk daerah dengan curah hujan tinggi. Ada dua macam metode indore yang sering dipakai, yaitu dengan cara menumpuk bahan yang dikomposkan di atas tanah ( indore heap method) dan dimasukkan dalam lubang galian (indore pit method). Langkah pembuatan kompos ini adalah sebagai berikut:
a.    Buat lubang dengan kedalaman minimal 1 meter (tergantung ketersediaan bahan) dan lebar antara 1,5-2 meter. Pembuatan lubang sebaiknya dekat kandang ternak dan sumber air. Buat tanggul kecil di sekeliling lubang untuk melindungi lubang.(untuk indore pit method).
b.    Bahan-bahan dari residu tanaman (batang, daun, sisa pakan ternak, pupuk hijau) dikumpulkan dan ditimbun..
c.    Bahan-bahan yang tersedia kemudian disusun menurut lapisan-lapisan dengan ketebalan 15 cm, total ketebalan dapat dibuat 1,2-1,5 meter.
d.   Kotoran ternak disebar secara merata setebal 10-15 cm. Untuk setiap lapisan bahan yang dikomposkan ditaburi dengan kotoran dan tanah yang terkena kencing atau dibuat dari campuran 4,5 kg kotoran ternak, 3,5 kg tanah yang terkena kencing dan 4,5 kg inokulan fungi yang diambil dari bahan kompos yang sedang aktif.
e.    Lapisan kompos disiram secara berkala
f.     Pembuatan lapisan-lapisan bahan yang dikomposkan tidak boleh lebih dari seminggu.
g.    Lakukan proses pembalikkan3 kali yaitu hari ke-15, hari ke-30 dan hari ke-60. Pastikan kompos diaduk dengan baik dan dalam keadaan lembab.
h.    Kompos sudah bisa digunakan

2.           Metode Heap
Metode ini memiliki beberapa acuan untuk mempercepat proses pengomposan dengan hasil yang baik seperti timbunan bahan kompos harus cukup mengandung nitrogen atau protein; dua atau lebih bahan dasar kompos dicampur merata untuk mendorong proses dekomposisi berjalan dengan baik; bahan dasar kompos diperhalus dengan cara dicacah; jaga kelembapan kompos selama proses pengomposam berlangsung, tetapi tidak terlalu basah; apabila tanah dalam keadaan asam, maka diberi kapur. Untuk memperkaya kandungan hara kompos dapat ditambahkan bantuan fosfat.
Metode Heap memiliki beberapa kendala, yaitu: banyak memerlukan tenaga kerja; tidak terlindung dari terpaan hujan dan angin; memerlukan lebih banyak air sehingga tidak sesuai untuk daerah yang curah hujannya rendah; proses fermentasi berjalan secara aerob, sehingga proses pengomposan berjalan lebih cepat, tetapi mendiriing kehilangan bahan organik dan nitrogen lebih besar.
Langkah-langkah pembuatan kompos dengan Metode Heap:
a.    Dibuat lubang dengan lebar 2 meter, tinggi 1,5 meter, dan panjang 2 meter atau lebih. Bagian tepi atas agak dipadatkan sehingga lebih sempit kurang lebih 0,5 meter. Untuk melindungi timbunan kompos dari tiupan angin maka di sekitar timbunan diberi peneduh atau pelindung.
b.    Timbunan bahan kompos dimulai dari lapisan bahan yang kaya karbon setebal 15 cm, termasuk: daun, jerami, serbuk gergaji, serpihan kayu, potongan batang jagung.
c.    Lapisan berikutnya adalah bahan kaya nitrogen setebal 10-15 cm, termasuk rumput segar, gulma atau residu tanaman pekarangan, sampah, kotoran ternak segar dan kering, sari limbah kering.
d.   Lapisan diulang sampai mencapai ketinggian 1,5 meter.
e.    Pastikan selama pengomposan selalu dalam keadaan lembab dan tidak terlalu basah. Untuk mempertahankan panas yang timbul selama proses pengomposan maka bahan kompos ditutup dengan tanah atau lumpur.
f.     Proses pembalikan dilakukan setelah 6 minggu dan 12 minggu.

3.           Metode Bangalore
Metode ini mempunyai banyak kelemahan. Selama proses pengomposan berlangsung, maka bahan yang dikomposkan harus selalu berada dalam lubang atau bak pengomposan. Selama proses pengomposan tidak dilakukan penyiraman atau pembalikan. Karena timbunan kompos ditutup dengan tanah atau lumpur, maka penyiraman harus cukup banyak sampai proses selesai. Setelah 8 — 10 hari proses berjalan secara aerob, selanjutnya proses berjalan secara semi aerob. Proses ini berjalan secara lambat dan sedikit demi sedikit sehingga diperlukan waktu 6 — 8 bulan, sampai kompos siap dipakai. Proses ini tidak terjadi kehilangan karbon maupun nitrogen, sehingga kualitas kompos sangat tergantung pada bahan dasar yang digunakan. Metode pengomposan ini dikembangkan di Bangalore ( India) oleh Acharya (1939).
Bahan yang dikomposkan terdiri atas campuran tinja dan sampah kota. Metode ini sangat sesuai untuk wilayah yang curah hujannya rendah. Diperlukan waktu antara 6-8 bulan untuk memperoleh kompos yang siap pakai.
Kelebihan dari metode ini hasil yang diperoleh lebih banyak daripada proses pengomposan aerob dan kehilanga nitrogen relatif sedikit dan tidak banyak memerlukan tenaga. Kelemahan metode ini waktu yang diperlukan lebih panjang dan kemungkinan yang merupakan masalah adalah bau yang busuk dan lalat yang cukup banyak.

4.         Metode Berkeley
Bahan yang dikomposkan merupakan campuran bahan organik kaya selulosa (2 bagian) dan bahan organik kaya nitrogen (1 bagian). Bahan ditimbun secara berlapis-lapis dengan ukuran 2,4 x 2,2 x 1,5 m. Setelah dicapai suhu termofilik kurang lebih selama 2-3 hari, pada hari keempat timbunan bahan kompos dibalik. Pembalikan dilakukan lagi pada hari ke-7 dan ke-10. Keunggulan: proses pengomposannya terjadi dengan cepat dan dalam waktu yang relatif singkat telah siap dimanfaatkan.


5.         Metode Vermikompos
Merupakan metode pengomposan yang memanfaatkan aktivitas cacing tanah karena cacing tanah mempunyai peranan penting dalam mempertahankan produktivitas tanah. Cacing tanah hanya membutuhkan 5% — 10% makanan untuk tumbuh dan mempertahankan kegiatan fisik, dan sisanya dibuang dalam bentuk ekskresi. Bahan sekresi mengandung senyawa organik dengan ukuran partikel reknit’ seragam, kaya unsur hara makro dan mikro yang segera tersedia untuk tanaman, vitamin, ensim dan mikroorganisme. Vermikompos adalah pupuk organik yang mengandung sekresi cacing, humus, cacing hidup dan organisme lainnya. Populasi cacing akan meningkat secara dramatis apabila biomassa kaya nutrisi, misalkan limbah organik. Limbah organik lembap sebanyak 1 ton akan menghasilkan sebanyak 300 kg vermikompos. Tahap pengomposan model ini ialah: pengadaan cacing tanah, perbanyakan cacing tanah, dan proses pengomposan.
Pengomposan menggunakan teknik kultur cacing tanah dapat dilaksanakan dengan kapasitas besar 100-200 ton limbah organik/hari. Karena kegiatan cacing tanah dengan cepat menurunkan volume biomassa dalam beberapa hari, maka tidak perlu dilakukan pembalikan bahan dan hampir tidak menimbulkan bau busuk: kultur vermikompos bersifat efekti f, sederhana dan merupakan proses pengomposan limbah organik yamg hemat energi.
Vermikompos dapat dibuat dalam skala kecil (sederhana) maupun skala besar (industri). Pada pembuatan skala kecil digunakan kotak dari papan kayu atau kotak plastik yang sudah tidak terpakai. Stirofoam atau logam tidak dianjurkan untuk membuat kotak vermikompos karena mengeluarkan racun ke dalam lingkungan hidup cacing, sedangkan logam menyerap panas, mudah berkarat dan mengeluarkan logam berat ke dalam vermikompos. Terdapat tiga cara pembuatan yaitu: (1) kotak tidak bersekat dimana cacing dan bahan organik ditempatkan di atas alas pada bagian dasar. Tipe ini sering digunakan namun mempunyai kesulitan saat memanen kompos karena cacing dan material kompos menyatu; (2) kotak bersekat vertikal berupa nampan-nampan yang disusun secara vertikal berisi bahan organik. Diharapkan,sebagian cacing akan bermigrasi ke lapisan nampan diatasnya. Apabila cacing yang bermigrasi sudah cukup, kompos di bawah bisa dipanen; dan (3) kotak bersekat horizontal dimana nampan diletakkan berdampingan untuk memberi kesempatan cacing tanah bermigrasi mencari sumber makanan pada kotak disampingnya. Ketika migrasi cacing ke kotak sebelahnya telah dianggap cukup, kompos yang sudah matang beserta cacing  yang masih tertinggal bisa dipanen.
Pembuatan vermikompos berskala besar menggunakan tempat terbuka, terdiri atas hamparan bahan organik lalu cacing melakukan pengomposan dengan memakan bahan organik tersebut. Cacing pada umumnya tetap tinggal dan tidak meloloskan diri dari hamparan karena melimpahnya bahan makanan. Permukaan hamparan bahan organic sering diperkeras dengan beton untuk mencegah predators memakan populasi cacing tanah.
6.         Metode Jepang
Metode ini menggunakan bak penampung yang terbuat dari anyaman kawat atau bambu, ban mobil bekas yang disusun bertingkat, atau bahan lain yang tersedia di tempat sebagai pengganti lubang seperti pada metode pembuatan kompos yang lain. Bagian dinding bak dirancang untuk memudahkan aerasi dan bagian dasar bak ditutup rapat untuk menghindari pelindian unsur hara ke tanah yang ada di bawahnya.
Bahan organik yang bisa dibuat kompos dengan metode Jepang, yaitu kotoran ternak, rumput daun segar kering, limbah tanaman dan gulma, limbah agroindustri, bahan mineral, sampah kota dan rumah tanga serta limbah padat dan cair yang berasal dari instalasi penyehatan.
Kelebihan pengomposan dengan metode Jepang adalah pengadukan bahan mudah karena bak penampungnya ada di atas tanah dan kemungkiann kehilangan nitrogen dalam bentuk nitrat akibat pelindian kecil.
7.         Metode Takakura
Metode ini digunakan untuk limbah padat organik skala kecil seperti sampah rumah tangga. Pengolahannnya tidak memerlukan biaya besar dan mudah didapat di lingkungan sekitar. Selain itu,  mudah dipindah-pindah terutama yang lahannya sempit. Langkah pembuatannya adalah sebagai berikut:
a.         Persiapan media pengomposan:
1)        Siapkan keranjang plastik Untuk membuat kompos ukuran panjang 45 cm, lebar 33 cm dan tinggi 43 cm, kardus bekas untuk melapisi sisi-sisi dalam keranjang, siapkan sekam padi dalam wadah plastik, tebal sekam 10-15 cm dari dasar keranjang, dan masukkan bantalan sekam kemudian kompos jadi (kompos siap pakai) ke dalam keranjang Takakura setebal 15-20 cm dari bantalan sekam. Selanjutnya, komposter Takakura siap dipakai. lalu ambil mikroorganisme cair, tuangkan ke dalam sprayer
2)        Semprotkan mikroorganisme cair dengan menggunakan sprayer secara merata dengan sesekali mengaduk sekam dengan tangan
3)        Gunting jaring untuk membuat dua kantong sesuai ukuran alas dan bagian atas keranjang dengan cara menjahit bagian tepi jaring
4)        Setelah jaring berbentuk kantong, isi masing-masing kantong jaring dengan sekam secukupnya lalu jahit hingga menyerupai bantal
5)        Ambil kardus dan potong dengan menggunakan gunting sesuai ukuran sekeliling keranjang lalu tempelkam potongan kardus tadi di sekeliling bagian dalam keranjang
6)        Setelah bagian dalam keranjang terlapisi kardus, letakkan bantal sekam pada alas keranjang
7)        Semprot Microorganisme cair pada permukaan luar dalam kardus dan bantal sekam dengan menggunakan sprayer hingga basah merata (EM4/ Efektive Mikroorganisme)
8)        Siapkan bak lalu isi dengan kompos dan pupuk ampas tebu lalu aduk hingga merata.
9)        Masukkan campuran kompos dan pupuk ampas tebu ke dalam keranjang yang sudah terlapisi kardus
10)    Sisa-sisa makanan dan sayuran dipotong kecil-kecil semakin kecil materi semakin cepat penguraiannya. Gali starter kompos di dalam keranjang tersebut dengan cetok. Luasan dan kedalaman galian sesuaikan dengan banyaknya sampah yang hendak dimasukkan.
11)    Masukkan sampah organik segar yang sebelumnya telah dicacah terlebih dahulu, pada lubang yang digali. Kemudian diaduk dan dicampur dengan kompos yang sudah jadi, tusuk-tusuk sampah tersebut dengan cetok. hingga sampah berada di tengah-tengah campuran pupuk kompos dan pupuk ampas tebu; usahakan semua sampah tertibun media
12)    Timbun sampah tadi dengan kompos di tepian lubang. Tutup kompos tersebut dengan bantalan sekam yang sudah disemprot dengan Mikroorganisme cair. Tutup permukaan keranjang dengan kain. Masukkan termometer sebagai alat pengukur suhu pada saat proses pengomposan
13)    Tutup bagian mulut keranjang dengan menggunakan kain stocking agar serangga kecil tidak masuk. Tutuplah keranjang dengan rapat.

b.        Cara Pemanenan
Bila Kompos di dalam keranjang takakura telah penuh, ambil 1/3 nya dimatangkan selama seminggu di tempat yang tidak terkena sinar matahari secara langsung. Sisanya yang 2/3 bisa kita gunakan kembali sebagai starter untuk pengolahan berikutnya. Sebaiknya sampah organik segar diisi setiap hari, usahakan sampah ditekan dengan cetok sampai sampah timbunan baru tidak terlihat.

8.         Pengomposan dengan teknologi rendah
Teknik pengomposan yang termasuk kelompok ini adalah Windrow Composting. Kompos ditumpuk dalam barisan tupukan yang disusun sejajar. Tumpukan secara berkala dibolak-balik untuk meningkatkan aerasi, menurunkan suhu apabila suhu terlalu tinggi, dan menurunkan kelembaban kompos. Teknik ini sesuai untuk pengomposan skala yang besar. Lama pengomposan berkisar antara 3 hingga 6 bulan, yang tergantung pada karakteristik bahan yang dikomposkan.


9.         Pengomposan dengan teknologi sedang
Pengomposan dengan teknologi sedang meliputi:
a.        Aerated static pile
Gundukan kompos diaerasi statis, tumpukan/gundukan kompos (seperti windrow system) diberi aerasi dengan menggunakan blower mekanik. Tumpukan kompos ditutup dengan terpal plastik. Teknik ini dapat mempersingkat waktu pengomposan hingga 3 – 5 minggu.

b.        Aerated compost bins
Bak/kotak kompos dengan aerasi, pengomposan dilakukan di dalam bak-bak yang di bawahnya diberi aerasi. Aerasi juga dilakakukan dengan menggunakan blower/pompa udara. Seringkali ditambahkan pula cacing (vermikompos). Lama pengomposan kurang lebih 2 – 3 minggu dan kompos akan matang dalam waktu 2 bulan.

10.     Pengomposan dengan teknologi tinggi
Pengomposan dengan menggunakan peralatan yang dibuat khusus untuk mempercepat proses pengomposan. Terdapat panel-panel untuk mengatur kondisi pengomposan dan lebih banyak dilakukan secara mekanis. Contoh-contoh pengomposan dengan teknologi tinggi antara lain:
a.       Rotary drum composter: Pengomposan dilakukan di dalam drum berputar yang dirancang khusus untuk proses pengomposan. Bahan-bahan mentah dihaluskan dan dicampur pada saat dimasukkan ke dalam drum. Drum akan berputar untuk mengaduk dan memberi aearasi pada kompos.
b.      Box/tunnel composting system: Pengomposan dilakukan dalam kotak-kotak/bak skala besar. Bahan-bahan mentah akan dihaluskan dan dicampur secara mekanik. Tahap-tahap pengomposan berjalan di dalam beberapa bak/kotak sebelum akhirnya menjadi produk kompos yang telah matang. Sebagian dikontrol dengan menggunakan komputer. Bak pengomposan dibagi menjadi dua zona, zona pertama untuk bahan yang masih mentah dan selanjutnya diaduk secara mekanik dan diberi aerasi. Kompos akan masuk ke bak zona ke dua dan proses pematangan kompos dilanjutkan.
c.       Mechanical compost bins: pengomposan dengan drum untuk limbah skala kecil seperti limbah rumah tangga.



B.       SANITARY LANDFILL
Sanitary landfill merupakan metode pengurugan sampah ke dalam tanah dengan menyebarkan limbah padat secara berlapis-lapis pada lahan kemudian dipadatkan dengan alat berat dan pada akhir operasi urugan limbah padat ditutup dengan tanah. Metode ini dikenal sejak awal tahun 1900-an dengan nama sanitary landfill karena aplikasinya memperhatikan aspek sanitasi lingkungan.
Landfilling penting untuk mengurangi limbah yang tidak dapat disingkirkan semuanya, sebagai pengolahan lanjutan dari residu pengolahan limbah, dan mengyingkirkan limbah yang sulit diuraikan secara biologis, sulit dibakar atau diolah secara kimia.
Pada awalnya cara ini dilakukan pada tanah yang sudah tidak produktif seperti bekas pertambangan yang kemudian dikenal dengan metode pit atau canyon atau quarry. Dengan demikian terjadi reklamasi lahan sehingga lahan tersebut menjadi baik kembali. Namun, karena terbatasnya site yang sesuai maka dilakukan pengupasan site sampai kedalaman tertentu lalu disebut metode slop. Daerah yang mempunyai struktur tanah yang datar dengan muka air tanah tinggi sulit untuk mengupas site, maka dilakukan penimbunan sampah di atas area tersebut (metode area).
Landfill terdiri dari beberapa jenis, antara lain:
1.         Berdasarkan penanganan sampahnya
a.    Pemotongan sampah terlebih dahulu
Sampah dipotong dengan mesin pemotong 50-80 mm agar homogen, lebih padat (0,8-1,0 ton/m3), dapat ditimbun lebih tebal (>1,5 m).  Cara ini dapat digunakan sebagai pengomposan (aerobik) in-situ dengan ketinggian sel-sel 50 cm, sehingga memungkinkan proses aerobik yang menghasilkan panas sehingga dapat menghindari lalat.
Kelebihan dari cara ini binatang pengerat berkurang karena rongga dalam timbunan berkurang/dihilangkan dan timbunan lebih padat, degradasi lebih cepat sehingga stabilitas lebih cepat. Sedangkan kelemahannya butuh alat pemotong sehingga biaya menjadi mahal.
b.    Pemadatan sampah dengan baling
Description: F:\tugas\limbah\limbah padat\landfill\gambar 5.jpgCara ini banyak dilakukan di Amerika Serikat. Sampah dipadatkan dengan mesin pemadat menjadi ukuran tertentu. Kepadatan mencapai 1,0 ton/m3 atau lebih.
Kelebihan dari cara ini transportasi lebih murah karena sampah lebih padat dan berbentuk praktis, pengurugan di lapangan lebih mudah, pengatran sel lebih mudah dan sistematis. Sedangkan kelemahannya butuh investasi dan operasi alat, dihasilkan lindi dari hasil pemadatan.
c.    Landfill tradisional
Cara ini dikenal sebagai santary landfill di Indonesia. Sampah diletakkan berlapis-lapis (0,5-0,6 m) sampai ketinggian 1,2-1,5 m. Urugan sampah membentuk sel-sel dan membutuhkan ketelitian operasi alat berat agar teratur. Kepadatan sampah dicapai dengan alat biasa (dozer atau loader) dan mencapai 0,6-0,8 ton/m3. Cara ini membutuhkan penutupan harian 10-30 cm, paling tidak dalam 48 jam. Kondisi di lapisan teratas bersifat aerob sedangkan di bagian bawah anaerob sehingga dihasilkan gas metan. Bagian-bagian sampah yang besar diletakkan di bwah agar tidak terjadi rongga.

d.   Landfill dengan kompaksi
Cara ini banyak digunakan untuk lahan urug yang besar dengan dozer khusus yang bisa memadatkan sampah pada ketebalan 30-50 cm, dicapai densitas timbunan 0,8-1,0 ton/m3. Proses pengomposan yang terjadi menjadi anaerob. Kelebihannya, tanah penutup menjadi berkurang, truk mudah berlalu lalang dan masa layan lebih lama. Selain itu, karena densitasnya yang tinggi membuat tikus dan serangga sulit bersarang. Namun, kekurangannya biaya operasi menjadi meningkat.

2.    Berdasarkan kondisi site
a.    Metode area
Metode ini cocok digunakan pada site yang relatif datar. Sampah membentuk sel-sel sampah yang saling dibatasi oleh tanah penutup. Slope terbentuk setelah pengurugan. Penyebaran dan pemadatan sampah berlawanan dengan kemiringan.

b.    Metode slope/ramp
Langkah pertama yang dilakukan adalah dengan menggali sebagian tanah, kemudian sampah diurug dalam tanah. Tanah yang digunakan sebagai penutup diambil dari tanah galian. Setelah lapisan pertama selesai langkah berikutnya seperti metode area.

c.    Metode parit/trench
Metode parit diterapkan pada tanah yang datar atau sedikit bergelombang. Caranya, gali site yang akan digunakan sebagai landfill. Sampah ditebarkan dalam galian tadi kemudian sampah dipadatkan dan ditutup harian. Metode digunakan jika air tanah cukup rendah sehingga zone non-aerasi di bawah landfill cukup tinggi (≥1,5 m). Langkah selanjutnya dilakukan seperti pada metode area.

d.   Metode pit/canyon/quarry
Cara ini efektif untuk memanfaatkan cekungan tanah yang ada seperti tanah bekas pertambangan. Pengurugan sampah dimulai dari dasar, lalu penyebaran dan pemadatannya dilakukan seperti metode area.

3.    Berdasarkan ketersediaan oksigen dalam timbunan
a.    Landfill anaerob
Landfill cara ini banyak diterapkan di Indonesia, yaitu dengan menimbun sampah secara lapis per lapis tanpa memperhatikan ketersediaan oksigen dalam timbunan. Kondi anaerob ini menghasilkan gas metan, uap-uap asam-asam organik, dan H2S yang menyebabkan bau bila tidak ditutup tanah. Selain itu, stabilitas sampah tidak cepat tercapai dan dihasilkan lindi/leachate dengan konsentrasi tinggi.

b.    Landfill semi aerob
Pada metode ini penggenanan leachate dalam timbunan dapat dihindari dengan pembuatan drainase leachate dan ventilasi gasbio yang baik. Tanah yang digunakan sebagai penutup tidak terlalu kedap.

Description: F:\tugas\limbah\limbah padat\landfill\gambar 8.jpg

c.    Landill aerob
Landfill aerob merupakan cara landfill yang mengupayakan agar timbunan sampah tetap mendapat oksigen sehingga proses pembusukan lebih cepat seperti pengomposan biasanya. Leachate yang dihasilkan relatif lebih baik dibanding landfill anaerob. Aroma tidak sedap juga lebih sedikit sehingga tidak dibutuhkan penutup tanah harian. Pencapaian kondisi aerob dapat dilakukan dengan pendekatan seperti lapisan sampah dibiarkan beberapa hari berkontak dengan oksigen sebelum diatasnya dilapis sampah lain. Bila perlu dilakukan pembalikan pada lapisan sampah tersebut namun dibutuhkan area yang luas. Cara lain adalah memasukkan udara ke dalam timbunan secara sistematis sehingga proses pembusukan berjalan secara aerob.

4.    Berdasarkan karakter site
a.    Site landfill kelas 1
Merupakan site kedap dengan nilai permeabilitas <10-7 cm/detik dan mengabaikan migrasi leachate. Jenis limbah yang diurug dengan cara ini adalah limbah industri termasuk limbah B3.

b.    Site landfill kelas 2
Merupakan site semi kedap dengan nilai permeabiitas antara 10-4 sampai 10-7 cm/detik dengan migrasi leachate yang lambat. Cara ini untuk limbah sejenis sampah kota.

c.    Site landfill kelas 3
Merupakan site tidak kedap dengan nilasi permeabilitas >10-4 cm/detik dimana migrasi leachate terjadi dengan cepat. Cocok untuk limbah inert dengan mengabaikan pencemaran.

5.    Berdasarkan jenis limbah yang akan diurug
Beberapa negara maju membagi landfill menurut jenis limbahnya, misal landfill sampah kota/sejenisnya dan landfill limbah industri (codisposal). Di Jepang, landfill dibagi menjadi landfill untuk limbah industri yang stabil (sisa bangunan, plastik, karet, logam, dan keramik), landfill dengan shut-off (dengan mengisolasi kontak air dari luar seperti air hujan dan air tanah) dan landfill limbah terdegradasi (oli, kertas,kayu, residu hewan/tanaman).

6.    Berdasarkan aplikasi tanah penutup dan penanganan leachate
a.    Controlled tipping
Merupakan pengembangan dari open dumping. Pada metode ini calon lahan utnuk landfill dipilih dan disiapkan dengan baik dan aplikasi tanah penutupnya tidak dilakukan setiap hari.

b.    Sanitary landfill with a bund and daily cover soil
Merupakan peningkatan dari Controlled tipping. Lahan penimbunan dibagi menjadi berbagai area yang dibatasi oleh tanggul atau parit. Penutupan timunan sampah dilakukan setiap hari sehingga mengurangi efek bau, asap dan lalat.

c.    Sanitary landfill with leachate recirculation
Pada metode ini permasalahan leachate diatasi dengan membuat sarana untuk mengalirkan lindi dari dasar landfill ke penampungan. Lindi kemudian dikembalikan ke timbunan sampah melalui ventilasi biogas tegak atau langsung ke timbunan sampah.

d.   Sanitary landfill with leachate treatment
Lindi dikumpulkan melalui sistem pengumpul kemudian diolah secara lengkap seperti limbah cair. Pengolahan yang diterapkan bisa secara biologi maupun kimia.






DAFTAR PUSTAKA
Andriana, Yusuf. ____. Teknologi Tepat Guna (TTG) untuk Pengelolaan Sampah. http://yusufandriana.com. [6 Juni 2014].

Bapelkes. 2012. Pembuatan Kompos dengan Metode Takakura.  http://bapelkescikarang.or.id.pdf  [30 Mei 2014].

Chahay, Indra, Surya Dharma. 2010. Hubungan Kebersihan Perorangan Dan Pemakaian Alat Pelindung Diri Dengan Keluhan Gangguan Kulit Pada Petugas Pengelola Sampah Di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Namo Bintang Kecamatan Pancur Batu Kabupaten Deli Serdang. http://repository.usu.ac.id [30 Mei 2014].

Isroi. 2006. Pengomposan Limbah Padat Organik. http://blog.ub.ac.id. [30 Mei 2014].

Juju. 2012. Pengertian Lahan Urug Landfilling. http://jujubandung.wordpress.com [6 Juni 2014].

Yulanto, AB. dkk. 2012. Pengolahan Sampah Terpadu: Konversi Sampah Pasar Menjadi Kompos Berkualitas Tinggi. http://api.ning.com. [30 Mei 2014].
                                                                                                        

Tidak ada komentar:

Posting Komentar